Pengedar Narkoba Hukum Berat, Pemakai Hukum Rehabilitasi Sesuai UU Narkotika
Pengedar Narkoba Hukum Berat, Pemakai Hukum Rehabilitasi Sesuai UU Narkotika
Kabarkarya.com.- Upaya Pemerintah dalam pemberantasan narkoba sudah luar biasa giatnya. Tak kenal waktu terus menggempur jaringan pengedar narkoba di tanah air dalam rangka melindungi generasi penerus bangsa. Namun, demikian upaya ini ternyata tidak menyurutkan niat para pelaku kejahatan untuk terus mengedarkan barang terlarang sampai ke anak – anak sekolah. Bahkan mereka semakin menjadi-jadi dengan memasukkan barang dalam jumlah yang sangat besar.
Pembina Barisan Anti Narkotika (BATIK) Dede Farhan Aulawi menyampaikan pandangannya terhadap masalah tersebut, pada Senin (22/12) melalui sambungan telepon.
Menurutnya perlu evaluasi bersama dalam merumuskan strategi perang melawan penyalahgunaan narkoba tersebut. Semua pihak terkait perlu duduk bersama agar upaya pemberantasan bisa lebih maksimal.
Dede juga mengatakan bahwa ia berpendapat dalam hal jenis penghukuman terhadap pengguna dan pengedar hendaknya berbeda. Sementara saat ini, semangatnya hampir sama yaitu memenjarakan mereka semua.
Hal tersebut menurut pendapatnya menjadi salah satu pemicu, gagalnya “perang” melawan peredaran gelap narkotika.
Kenapa ? Karena para pemakai tidak mau melakukan rehabilitasi, bahkan ia takut ketahuan oleh orang lain yang bisa berujung ke penjara.
Berbicara masalah penjara punya persoalan sendiri karena menyangkut keterbatasan kapasitas lapas, dan juga anggaran yang harus dikeluarkan oleh negara semakin membengkak.
” Lihat saja mana lapas yang under capasity ? Hampir semua lapas, apalagi lapas narkoba sudah over capasity. Oleh karena itu semua pihak terkait, harus sering duduk bersama “, tegas Dede.
Menurut informasi yang ia peroleh, di Lapas sering terjadi “sakau” kolektif sebagai akibat orang sakit adiksi kecanduan narkotika. Belum lagi banyaknya gangguan mental kejiwaan. Itu karena, mereka yang hanya pemakai dijatuhi hukuman yang sama dengan pengedar, yaitu kurungan penjara. Akhirnya tidak sedikit juga yang tumbuh menjadi residivisme penyalahgunaan narkotika, karena penyalahguna narkotika dijatuhi hukuman penjara tanpa upaya rehabilitasi.
Dengan demikian, tanpa disadari bahwa “semangat penghukuman penjara bagi pemakai” hanya memperbesar sisi “market demand”. Saat market demand meningkat, maka pasti bandar dan pengedar akar berusaha memperbesar supply barangnya. Secara ekonomi, sisi supply akan terus mengimbangi sisi demand sampai terjadi keseimbangan (equilibrium).
Kondisi ini, lambat atau cepat akan mempercepat bencana nasional berupa tsunami narkoba yang akan menghantam seluruh pesisir kehidupan umat manusia.
Secara bersama-sama Pemerintah dan masyarakat harus bahu membahu memberantas peredaran haram narkoba. Jangan sampai kegagalan kebijakan Nixon di AS, dialami juga oleh Indonesia.
Padahal bila merujuk pada konstitusi sebagaimana dimuat dalam UU Narkotika, sudah jelas strategi “perang” melawan narkotika adalah merehabilitasi, penyalahguna narkotika agar sembuh.
Kecuali, bagi pelaku peredaran gelap narkotika tentu harus dipenjara. Jaringan peredaran gelap-nya harus diputus.
Lalu timbul pertanyaan, kenapa penegak hukum dan masyakat menafsirkan penyalah guna sebagai kriminal yang harus dipenjara ?
Padahal tujuan dibuatnya UU narkotika itu untuk menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi ? Penyalah guna adalah orang sakit adiksi ketergantungan narkotika. Dan, gangguan mental kejiwaan yang bersifat kronis lalu dipenjara tanpa ada upaya rehabilitasi.
Perlu diketahui bersama, bahwa rehabilitasi sesungguhnya bentuk hukuman pokok yang sama dengan pidana mati, pidana penjara, denda, kurungan dan pidana tutupan ?
Itulah sebabnya, para penegak hukum diberi kewenangan untuk menempatkan penyalahguna dalam lembaga rehabilitasi selama proses penegakan hukum pada semua tingkat pemeriksaan ? Bahkan hakim diberikan kewenangan mutlak untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi baik terbukti salah maupun tidak terbukti bersalah.
Kesalahan penafsiran dalam mengimplementasikan UU narkotika yang berlaku saat ini, tentu perlu kita evaluasi bersama, agar penyalah guna narkotika dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya tidak dilakukan penuntutan secara komulatif maupun subsidiaritas dengan pengedar.
Jangan juga dilakukan, upaya paksa penahanan.
Sebaliknya, UU sudah menegaskan, jika dia terbukti yang bersangkutan dihukum seumur hidup, untuk ditempatkan di Lembaga Rehabilitasi. Selama “proses penegakan hukum” dan dijatuhi hukuman rehabilitasi sesuai tujuan dibuatnya UU no. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Oleh karena itu, seluruh pengemban fungsi rehabilitasi, baik Menkes, Mendagri, sampai Mensos sebaiknya duduk bersama membahas masalah ini. Semua perlu berdiskusi agar memiliki kesepahaman dalam mencari titik temu agar penyalah guna narkotika dilakukan penegakan hukum secara rehabilitatif. Harap Dede menutup pembicaraan.