GAPPRI: RPP Pengamanan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Restriktif dan Ancam Ekosistem Pertembakauan
Surabaya – Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menegaskan sikap penolakan draf RPP Kesehatan yang mengatur Pengamanan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau untuk dibahas.
Menurut Henry Najoan, tembakau adalah produk legal, sehingga pengaturannya seharusnya disamakan dengan produk legal. Saat ini, draf peraturan yang disusun sudah sangat restriktif, dan ini hanya akan mematikan ekosistem tembakau yang saat ini sudah terus dalam kondisi menyusut.
Henry Najoan mengingatkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tercatat enam kali memutuskan produk tembakau adalah produk legal yang dibuktikan dengan dikenakan cukai. Enam putusan yang menyebutkan bahwa tembakau adalah produk legal antara lain: Putusan MK No. 54/PUU-VI/2008, Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009, Putusan MK No. 19/PUU-VIII/2010, Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010, Putusan MK No. 57/PUU-IX/201, Putusan MK No. 71/PUU-XI/2013, dan Putusan MK No. 81/PUU-XV/2017.
“Karena produk legal, seharusnya pengaturannya pun disesuaikan dengan produk legal lainnya,” ujar Henry Najoan dalam Sarasehan Nasional Ekosistem Pertembakauan ‘Menolak Zat Adiktif Produk Tembakau diatur dalam RPP Kesehatan’ di Surabaya, Jumat (29/09/2023).
Henry juga menegaskan bahwa keberadaan PP 109 tahun 2012 yang saat ini masih berlaku telah mampu mengendalikan peredaran zat adiktif tembakau dengan seimbang, sehingga Pemerintah tidak perlu merevisi yang hanya akan memberi dampak fatal.
Merujuk catatan GAPPRI, dalam penyusunan PP 109 tahun 2012 sebelumnya, proses pembahasan memakan waktu 3 tahun dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan menghasilkan sebuah aturan yang berimbang dengan mempertimbangkan aspek perlindungan kesehatan, serta aspek kepentingan ekonomi.
“Dengan restriktifnya peraturan yang saat ini tengah disusun, pemerintah perlu menyadari bahwa hal ini akan merusak keseimbangan yang ada. Sangat mungkin upaya pengendalian konsumsi produk tembakau yang ingin dicapai malah tidak berjalan efektif.
“Namun malah akan mendukung maraknya peredaran rokok illegal yang saat ini sudah cukup tinggi,” kata Henry Najoan. ***